Sebuah Harta
"Begitulah, salah satu harta yang paling berharga dalam hidup kita itu adalah rasa syukur nak Ria, bayangkan saja, jika kita tidak memiliki rasa syukur. Apapun yang kita miliki akan terasa kurang. Selalu ngoyo dan selalu merasa tak puas dengan apa yang kita terima, hingga kita selalu mencari cara untuk pemenuhan terhadap ketidakpuasan itu."
Kalimat-kalimat pak Ali menyusup masuk gendang telingaku, menusuk-nusuk hati. Tangan kanannya masih menepuk-nepuk bahuku. Seolah ingin memberi kekuatan atas keluhanku sebentar tadi. Ada bulir bening yang sedia rebah di sudut mataku. Tak kuasa kutahan untuk meluncur jatuh. Semakin deras dan deras.
"Begitulah, salah satu harta yang paling berharga dalam hidup kita itu adalah rasa syukur nak Ria, bayangkan saja, jika kita tidak memiliki rasa syukur. Apapun yang kita miliki akan terasa kurang. Selalu ngoyo dan selalu merasa tak puas dengan apa yang kita terima, hingga kita selalu mencari cara untuk pemenuhan terhadap ketidakpuasan itu."
Kalimat-kalimat pak Ali menyusup masuk gendang telingaku, menusuk-nusuk hati. Tangan kanannya masih menepuk-nepuk bahuku. Seolah ingin memberi kekuatan atas keluhanku sebentar tadi. Ada bulir bening yang sedia rebah di sudut mataku. Tak kuasa kutahan untuk meluncur jatuh. Semakin deras dan deras.
Terik siang begitu memanggang, kami masih duduk di bawah pohon depan
gedung sekolah besar itu. Angin berhembus menanggalkan daun ketapang,
melayang ke udara dan terhempas jatuh ke tanah, tepat di hadapanku.
Kususut air mataku dengan punggung tangan, selama ini aku merasa tak puas dengan apa yang aku terima. Bekerja sebagai guru di sebuah sekolah ternama di kota ini. Dengan gaji dan tunjangan yang bisa dibilang cukup untuk menghidupi dua orang anak. Mencicil sebuah rumah mungil. Di halaman yang sempit itu, berdiri pula sebuah kedai harian istrinya. Sedikit membantu perekonomian keluarga.
"Terima kasih Pak Ali." Kataku terbata.
Pak Ali hanya tersenyum, dan menepuk pundakku.
"Sebentar lagi adzan dzuhur Nak Satria, basahi wajahmu dengan air wudhuk, agar adem!" Ajak Pak Ali sambil beranjak pergi.
Kupandangi punggungnya yang semakin renta. Ia mengabdi di sekolah ini sudah belasan tahun. Gajinya yang tak seberapa sebagai tukang kebun dan bersih-bersih, tapi tak pernah kudengar ia mengeluh, bahkan ia bisa menghidupi empat anaknya dan bersekolah. Karena pak ali memiliki harta itu, bersyukur.
Sungguh malu ia kini.
Suara adzan dzuhur berkumandang di mushola gedung sekolah itu, menyeret langkah kakinya, menuju seruannya.
00:11 wib
Pekanbaru, 180417
Kususut air mataku dengan punggung tangan, selama ini aku merasa tak puas dengan apa yang aku terima. Bekerja sebagai guru di sebuah sekolah ternama di kota ini. Dengan gaji dan tunjangan yang bisa dibilang cukup untuk menghidupi dua orang anak. Mencicil sebuah rumah mungil. Di halaman yang sempit itu, berdiri pula sebuah kedai harian istrinya. Sedikit membantu perekonomian keluarga.
"Terima kasih Pak Ali." Kataku terbata.
Pak Ali hanya tersenyum, dan menepuk pundakku.
"Sebentar lagi adzan dzuhur Nak Satria, basahi wajahmu dengan air wudhuk, agar adem!" Ajak Pak Ali sambil beranjak pergi.
Kupandangi punggungnya yang semakin renta. Ia mengabdi di sekolah ini sudah belasan tahun. Gajinya yang tak seberapa sebagai tukang kebun dan bersih-bersih, tapi tak pernah kudengar ia mengeluh, bahkan ia bisa menghidupi empat anaknya dan bersekolah. Karena pak ali memiliki harta itu, bersyukur.
Sungguh malu ia kini.
Suara adzan dzuhur berkumandang di mushola gedung sekolah itu, menyeret langkah kakinya, menuju seruannya.
00:11 wib
Pekanbaru, 180417
Kultum Singkat tentang Rasa Syukur atas Segala Nikmat
Reviewed by Admin
on
12:36:00 AM
Rating: